Kamis, 31 Maret 2011

Ular berkepala Gatutkaca



 
 Lambang kota Banyuwangi 
Ular berkepala gatutkaca atau antaboga itu, dalam bentuknya yang melingkar berbentuk yang melingkar berbentuk angka delapan merupakan ornamen dalam perngakat alat tubuh angklung terletak dikanan kirinya, sebab perangkat angklung yang dirancang untuk angklung caruk, jika dipukul dengan duduk dibelakangnya oleh penabuh, maka gerak penabuh menggoyangkan seluruh bagian angklung itu, termasuk ornamen ular di kanan kirinya, sehingga tampak hidup sesuai dengan expresi penabuhnya
, apalagi jika ditubuh ular dikalungi dengan selendang atau sampur yang dililitkan, benar-benar terlihat sangat hidup bergoyang-goyang. seorang pakar angklung Haji Sutejo pernah menjelaskan tentang ular berkepala Gatutkaca yang menjadi hiasan angklung itu, berupa ular imajinatif yang dikenal dalam mitos bangsa Asia sejak jaman dahulu terutama dikalangan etnis Cina, sebagai lambang kesuburan dan kemakmuran. Sedang tokoh Gatutkaca yang bersumber pewayangan merupakan lambang kesetiaan dan keperkasaan.sejarah angklung dalam perkembangannya cukup panjang sejarah angklung paglak di atas dangau sampai dengan angklung sebagai suatu unit yang lengkap seperti yang kita kenal sekarang atau dalam bentuk kolaborasi yang ditampilkan pada hari jadi Banyuwangi. Bermula dari seorang tokoh angklung bernama Kik During yang bertempat tinggal di kampong Bali Kota Banyuwangi sekitar seratus tahun yang lalu, telah berusaha menata angklung paglak menjadio angklung caruk. Irama gaya Kik During dalam perangkat angklung caruk dinilai sangat dinamik dalam penampilannya terutama ketika dipertemukan antara dua unit angklung yang berhadap-hadapan. tetapi sejarah ular yang berkepala Gatutkaca yang ditempatkan di wuwungan rumah bertengger pda pagar kantor pemerintah daerah atau disetiap gang atau jalan dalam bentuk berbeda-beda menurut selera masing-masing orang, malah ada yang berkepala wanita yang terurai rambutnya seperti ikan duyung.seperti yang diketahui oleh masyarakat umum, jika bangunan adat di Banyuwangi baik bentuk tiket balong, terojongan dan baresan tidak terdapat adanya ornamen yang menghiasi rumah-rumah itu terutama yang berada diatas wuwungan atau yang bertengger diujung bangunan seprti umumnya rumah joglo yang ada dijawa tengah. Terutama rumah joglo di Jepara, hampir disetiap wuwungan diujung bawah wuwungan tedapat semacam ornamen disebut makara.

Selasa, 22 Maret 2011

Suku Osing Banyuwangi

Sejarah Suku Osing diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit sekitar tahun 1478 M. Perang saudara dan Pertumbuhan kerajaan-kerajaan islam terutama Kesultanan Malaka mempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya, orang-orang majapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku Tengger), Blambangan (Suku Osing) dan Bali.

Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan Suku Osing yang masih menyiratkan budaya Majapahit. Kerajaan Blambangan, yang didirikan oleh masyarakat osing, adalah kerajaan terakhir yang bercorak Hindu-Budha seperti halnya kerajaan Majapahit. Bahkan Mereka sangat percaya bahwa Taman Nasional Alas Purwo merupakan tempat pemberhentian terakhir rakyat Majapahit yang menghindar dari serbuan kerajaan Mataram.